Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Koperasi
Mobil Ambulance
Perlengkapan Pengurusan Jenazah
Aula Serba Guna
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Taman
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Menyelenggarakan Pengajian Rutin
Menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi (koperasi masjid)
Menyelenggarakan kegiatan pendidikan (TPA, Madrasah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Melaksanakan Bimbingan Mualaf
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Toilet Anak
Tempat Bermain Anak
Pojok Baca Anak
Buku Bacaan Anak
Peralatan Permainan Edukatif
Fasilitas Disabilitas
Kursi Shalat Lansia
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Dokumen tidak ditemukan atau belum diunggah
Sejarah Masjid
Masjid ini dibangun atas prakarsa Ir. Gustaf Abbas pada tahun 1960-an, desain interior dan eksterior masjid ini dipenuhi simbol-simbol fleksibel, tidak kaku dengan simbol Timur Tengah yang kerap menjadi harga mati untuk arsitektur masjid. Abbas adalah arsitek lulusan Insitut Teknologi Bandung ITB, yang mematahkan arsitektur masjid di tanah air pada umumnya. Karyanya juga dapat dirasakan pada Masjid Salman di Jalan Ganesha, Bandung.
Tak seperti masjid kebanyakan, Masjid Agung Sunda Kelapa tak memiliki kubah, bedug, bintang-bulan, dan sederet simbol yang biasa terdapat dalam sebuah masjid. Menara yang ada pun sangat unik. Bentuk bangunannya mirip perahu, sebagai simbol pelabuhan Sunda Kelapa tempat saudagar muslim berdagang dan menyebarkan syariat Islam di masa lalu.
Selain itu, bentuk perahu adalah makna simbolik kepasrahan seorang muslim. Bagaikan orang duduk bersila dengan tangan menengadah, berdoa mengharap rahmat dan kasih sayang-Nya.
Abbas, tak sendirian. Ia didukung para jenderal di Menteng yang menyumbangkan dana awal pembangunannya. Para jenderal merasa harus meluruskan kekeliruan sejarah atas G30S/PKI, dengan membangun sebuah masjid yang nyaman untuk pelaksanaan ibadah. Karena pembangunan tak kunjung selesai, Pemda DKI Jakarta semasa Ali Sadikin (almarhum), merasa harus turun tangan untuk merampungkan pembangunannya sampai berdiri kokoh pada tahun 1970.