Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Mobil Ambulance
Aula Serba Guna
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Taman
Parkir
Internet Akses
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Menyelenggarakan Pengajian Rutin
Menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi (koperasi masjid)
Menyelenggarakan kegiatan pendidikan (TPA, Madrasah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Melaksanakan Bimbingan Mualaf
Melaksanakan Bimbingan Manasik Haji
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Kursi Shalat Lansia
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Sejarah Masjid
Jejak masjid tiban itu memang tak banyak bisa dilihat saat ini. Namun jika masuk ke dalam masjid, ada
empat pilar besar. Empat pilar itulah yang dulunya adalah empat tiang penyanggar masjid tiban ini.
"Masjid Rahmat adalah masjid tertua di Surabaya, dulu bukan masjid seperti ini, hanya gubuk surau tiban. Atapnya hanya dari bambu dan jerami," ucap Syafii, pengurus Yayasan Masjid Rahmat.
Syafii lantas bercerita ihwal berdirinya masjid tiban ini. Saat itu Raden Rahmat atau Sunan Ampel baru tiba dari kawasan Majapahit. Sebelum sampai di Ampeldento, ia melintas di kawasan Kembang Kuning melalui Sungai Brantas yang ada di depan Masjid Rahmat. Hanya dengan perahu kecil, lantas ia memutuskan singgah.
Di sini, putra Maulana Malik Ibrahim atau Asmoro Qondhi memutuskan untuk menyebarkan agama Islam. Sesuai tradisi zaman dahulu, siapa yang ingin bertahan di suatu wilayah, maka ia harus pandai berduel.
"Raden Rahmat pun berduel adu kesaktian dengan Mbah Wirasoeroyo, tokoh di Kembang Kuning yang
berjuluk Ki Mbang Kuning. Saat itu beliau masih beragama Hindu," ujar Syafii.
Dari duel itu, kemampuan Raden Rahmat pun teruji. Ia berhasil memenangkan duel yang cukup alot itu. Mbah Wirasoeroyo akhirnya takhluk di tangan Raden Rahmat dan mau mengikuti ajaran Raden Rahmat untuk memeluk Islam.
Mbah Wirasoeroyo pun mengangkat Raden Rahmat menjadi menantu dengan menikahkannya dengan
putrinya, Karimah. Di surau inilah Raden Rahmat berdakwah mengajarkan ajaran agama Islam.
Ia mengajarkan pada warga di kawasan Kembang Kuning tentang siapa Allah dan siapa Nabi Muhammad. Dengan pendekatannya yang halus dan mudah bergaul merangkul sesama, ajaran Raden Rahmat diterima banyak khalayak dengan sangat mudah.
"Sampai saat ini ajaran beliau masih dilestarikan, seperti megengan, tahlilan, dan juga membaca wiridan," ucap Syafii.
Langgar tiban ini baru direnovasi sekitar tahun 1967. Saat itu negara sudah merdeka. Masjid ini dipugar untuk bisa menampung banyak jemaah yang ingin belajar agama Islam dan beribadah.
Oleh arsitek Surabaya Abu Ali, masjid dibuat menjadi dua lantai. Dengan gaya bangunan yang cukup klasik, desain masjid disesuaikan dengan kelokalan Surabaya.
"Ada lima pintu pilar di serambi masjid. Bentuknya seperti daunnya semanggi. Itu sengaja dibuat untuk
menguatkan kelokalan Surabaya," ucap Syafii.
Saat ini luas bangunan masjid Rahmat sudah besar, yaitu seluas 850 meter persegi. Selain itu juga ada
pelataran parkir yang cukup luas untuk bisa menampung para jemaah yang selalu padat di bulan suci seperti sekarang ini.
"Setelah dipugar masjid ini diresmikan oleh Menteri Agama era Bung Karno, Syaifuddin Zuhri. Sampai saat ini alhamdulillah bisa terus menjadi tempat untuk syiar Islam," ucapnya.
Selama Ramadhan, pengurus Masjid Rahmat memang menambah kegiatan. Sebagaimana dijelaskan oleh takmir masjid, Imam Suhudi, mengaji kitab diadakan setiap habis salat.
"Habis ashar ada mengaji Bidayah, yang memberi ilmu tentang masalah tasawuf. Setelah duhur juga ada kuliah lima belas menit. Begitu juga dengan subuh, kalau maghrib dan isya' jadi satu ada ceramah di sela salat tarawih," ucapnya.