Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Koperasi
Aula Serba Guna
Toko
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Taman
Parkir
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Menyelenggarakan Pengajian Rutin
Menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi (koperasi masjid)
Menyelenggarakan kegiatan pendidikan (TPA, Madrasah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Dokumen tidak ditemukan atau belum diunggah
Sejarah Masjid
Berawal dari kebutuhan sarana ibadah untuk para tenaga kerja Perkebunan Teh milik PT. Gunung Mas yang dikelola PTPN Nusantara VIII, dibangunlah sebuah masjid kecil dan sederhana di lokasi yang dipandang strategis. Tepatnya di pinggir Jalan Raya Puncak, sekitar km 88,5 dari Ibukota Jakarta di Blok/Kampung Naringgul Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor.
Masjid yang didirikan di wilayah Perkebunan Teh peninggalan penjajah Belanda ini dinamakan Masjid Al-Muttaqien milik PT. GUNUNG MAS dan Pengelolaannya dilakukan secara swadaya oleh para sesepuh tenaga kerja Perkebunan Teh yang berdomisili dekat dengan lokasi Masjid Al-Muttaqien.
Pada dasawarsa tahun 1990-an, Masjid Al-Muttaqien yang mungil itu ternyata semakin banyak dikunjungi jamaah, baik untuk kegiatan shalat fardhu maupun shalat jum’at. Jamaah masjid yang semakin bertambah bukan hanya dari jamaah yang berasal dari masyarakat sekitar, tetapi juga para jamaah luar kota yang melewati Jalan Raya Puncak yang menjadi poros transportasi Bandung, Cianjur, Bogor, dan Jakarta.
Para jamaah, terlebih ketika mendirikan shalat jum’at, terpaksa berdesak-desakan melaksanakan ibadah karena tidak lagi bisa tertampung oleh kapasitas masjid yang sangat terbatas. H.R. Nuriana, Gubernur Jawa Barat dua periode (1993-1998 dan 1998-2003), yang dikenal sebagai sosok pribadi yang selalu mendengar jerit keprihatinan umat ini akhirnya tergerak hati untuk membangun sebuah Monumen Kebersamaan (Gotong Royong Plus) dalam bentuk masjid yang lebih layak dan refresentatif.
Ketergugahan figur jenderal bintang dua yang berjiwa santri dan tokoh teladan yang sarat dengan gagasan pembangunan Islam ini, berawal dari keinginan beliu untuk mengabadikan gagasan rereongan sarupi yang sukses dikelola saat itu di Jawa Barat dalam bentuk monumen kebersamaan/gotongroyong yang tidak hanya merupakan nilai luhur islami tetapi juga sekaligus merupakan nilai kepribadian warisan leluhur bangsa Indonesia yang telah terkristalisasi dalam falsafah dan dasar Negara R.I. yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Gagasan dan alur pikir H. R. Nuriana yang kebetulan sering menempuh perjalanan lewat jalur puncak tertarik melihat posisi strategis dan keindahan alam sekitar puncak, semakin memperkokoh keinginan kuat untuk membangun monumen Rereongan Sarupi dikawasan tersebut yang sekarang ini dikenal dengan Masjid At-Ta’awun.