Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Aula Serba Guna
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Taman
Parkir
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Menyelenggarakan Pengajian Rutin
Menyelenggarakan kegiatan pendidikan (TPA, Madrasah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Sejarah Masjid
Asal Mula dan Sejarah Masyarakat Bugis di Pulau Serangan
Serangan pada awalnya hanya berupa muntig (gundukan tanah) yang berada ditengah laut. Pada zaman dahulu, terjadi banjir besar dan banyak orang yang hanyut di Kerajaan Majapahit. Ada seseorang yang terdampar di muntig tersebut dan tidak ingat identitas dirinya, baik nama maupun daerah asal. Pada zaman itu nelayan dari desa Sanur, Nusa Dua dan desa lainnya yang dekat dengan Serangan biasa menangkap ikan disana. Mereka sangat kaget ketika menemukan orang yang sebelumnya tidak pernah ada disana. Ketika ditanya identitasnya, orang itu tidak menjawab dan kemudian orang-orang memanggilnya Jero Kampih.
Karena tempat itu hanya berupa gundukan tanah saja, maka orang kampih itu tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang melekat dibadannya, sehingga setiap orang yang melihatnya akan merasa iba. Apabila orang yang datang kesana pulang kerumahnya, dan pada saat balik ke tempat orang yang kampih itu, mereka membawa pakaian, makanan, alat-alat masak untuk diberikan kepada orang kampih tersebut sehingga lama kelamaan semakin banyak saja nelayan yang datang kesana, bahkan ada yang tinggal 1-2 hari disana dan kemudian menetap.
Oleh karena orang-orang yang ke sana adalah orang-orang yang merasa iba atau kasihan, maka tempat tersebut diberi nama sira angen (sira=siapa,angen=iba). Siraangen berarti siapa yang merasa iba datang kesana. Dari siraangen lama-kelamaan menjadi serangan. Kampung Bugis merupakan satu-satunya kampung yang berada di Kelurahan Serangan. Awal mula keberadaan Kampung Bugis tidak terlepas dari kehadiran Belanda di Indonesia. Bugis adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan, suku bangsa Bugis sudah dari dahulu kala terkenal dengan budaya maritimnya yang tinggi. Orang-orang Bugis tiba di Bali diperkirakan pada abad XVII. Pada waktu itu Sulawesi selatan (Makasar) telah dikuasai oleh VOC (Verenigde Ost Indische Compagnie) yang merupakan organisasi dagang milik kerajaan Belanda. Praktek monopoli yang dijalankan oleh VOC pada saat itu di Sulawesi Selatan menjadi sebab orang-orang Bugis keluar dari daerahnya. Orang orang Bugis terebut kemudian berlayar meninggalkan Sulawesi Selatan menuju daerah yang tidak dijajah Belanda. Akhirnya mereka tiba di sebuah pulau yang bernama Bali. Pada mulanya orang-orang Bugis oleh pihak Kerajaan Pemecutan ditangkap dan ditahan. Alasannya adalah bahwa orang-orang Bugis adalah pendatang ilegal dan dianggap mata-mata Belanda di Pulau Bali. Setelah pimpinan dari orang-orang Bugis tersebut menjelaskan bahwa mereka datang ke Bali untuk menghindari Belanda, Pihak Kerajaan Badung menerimanya dan memberikan mereka tinggal di wilayah Celagi Gendong. Ternyata pihak Kerajaan Badung tidak hanya menangkap orangorang Bugis saja. Orang-orang dari Pulau Madura, dibawah pimpinan Jayadiningrat (Seorang Pangeran Madura) pun ikut merasakan perlakuan yang sama. Konflik antara Kerajaan Badung dan Kerajaan Mengwi terus berlanjut, bahkan semakin lama tidak menemukan titik hubungan damai tanpa ada perang yang menyengsarakan rakyat kebanyakan. Maka pihak Kerajaan Badung menggunakan momen tersebut dengan melatih para tawanan (orang Bugis dan Madura) untuk dijadikan pasukan perang yang akan mengahadapi serangan dari kerajaan Mengwi. Orang-orang Bugis dan Madura sudah terkenal dengan kekuatan fisiknya yang kekar dan keberaniannya. Tidak salah bila Kerajaan Badung mempergunakan kelebihan-kelebihan mereka guna melawan serangan Kerajaan Mengwi. Pada akhirnya Kerajaan badung dapat mengalahkan kerajaan Mengwi lewat pertempuran yang dibantu oleh pasukan perang dari pasukan Bugis dan Madura. Sebagai wujud terima kasih Kerajaan Badung kepada orang-orang Bugis dan Madura yang telah membantunya menang dalam peperangan, maka, Raja Badung memberikan sebidang tanah seluas ½ hektar di Pulau Serangan yang masih didiami hingga kini.
Moh. Ali Fadillah dalam buku yang berjudul warisan budaya Bugis di Pesisir Selatan Denpasar : Nuansa Sejarah Islam di Bali (1999 : 20) menyatakan bahwa kelompok-kelompok kecil pedagang Bugis memanfaatkan pelabuhan kecil di sebelah tenggara Kuta, di muara sungai Suwung di dekat sebuah pulau yang saat ini bernama Serangan. Badung telah mengekspor berbagai hasil bumi seperti beras, kopi, kelapa, minyak, dan juga budak dari beberapa pelabuhan, termasuk Serangan. Produkyang diekspor tersebut ditukar dengan candu, alat besi, kain India dan Eropa, serta tembakau dan berbagai barang porselin.
Pada awal abad XIX, Badung di bawah pemerintahan Gusti Ngurah Made Pemecutan (1800-1810) ditaksir mempunyai penduduk berjumlah 110.000 jiwa dan 20.000 diantaranya merupakan orang asing yang terdiri dari orang Bugis,Melayu, Jawa, Cina, Arab, dan India. Penduduk asing yang terbesar jumlahnya adalah orang Bugis yang terutama yang bermukim di sekitar pelabuhan Kuta,Tuban, dan Serangan. Penduduk asing lain lebih memilih bermukim di pusat-pusat perdagangan dalam kota, tidak jauh dari Puri Pemecutan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok pemukiman yang masih populer, yakni Kampung Jawa, Kampung Arab, dan Kampung Bugis yang umumnya berada di daerah pesisir sekitar pelabuhan.
Berbeda dengan penduduk asing lainnya, orang Bugis memainkan peran ganda di Kerajaan Badung. Orang Bugis tidak hanya dikenal sebagai pengusaha perkapalan dan pedagang, tetapi juga dipercaya raja sebagai pasukan kerajaan. Rivalitas antara Kerajaan Mengwi, Jembrana, dan Badung menyebabkan Badung masuk dalam kancah peperangan. Peperangan yang dimaksud adalah peperangan melawan Kerajaan Mengwi dalam perebutan tapal batas di bawah masa pemerintahan Cokorde Pemecutan III (Gusti Ngurah Pemecutan) yang bergelar Batara Sakti. Orang Bugis di bawah pimpinan Puak Matoa (dalam tradisi Bali disebut juga Puak Gede) dibantu oleh komunitas Madura di bawah pimpinan Raden Sastroningrat ikut terlibat mempertahankan kedaulatan Bdung dalam menghadapi ekspansi Mengwi yang sudah dilakukan sejak akhir abad XVIII. Penghargaan yang diterima atas jasa-jasa yang telah didedikasikan adalah berupa hak istimewa dan beberapa konsesi untuk membangun pemukiman permanen.
Komunitas Bugis dengan berbekal konsesi tersebut memilih mendiami Serangan, Suwung, Tuban yang merupakan pemukiman mereka sejak periode Gelgel. Komunitas lain seperti Madura, Jawa, dan beberapa orang Bugis yang telah berasimilasi disediakan Kepaon, sebuah kampung yang dikelilingi sawah warisan kerajaan yang subur.