Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Perlengkapan Pengurusan Jenazah
Aula Serba Guna
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Parkir
Internet Akses
Situs Bersejarah
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Menyelenggarakan Pengajian Rutin
Menyelenggarakan kegiatan pendidikan (TPA, Madrasah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Kursi Shalat Lansia
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Dokumen tidak ditemukan atau belum diunggah
Sejarah Masjid
Masjid Raya Ganting (juga ditulis dan dilafalkan Gantiang dalam bahasa Minangkabau) adalah sebuah masjid yang terletak di Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Mulai dibangun pada tahun 1805, masjid ini tercatat sebagai masjid tertua di Padang dan salah satu yang tertua di Indonesia serta telah menjadi cagar budaya.
Masjid yang pembangunannya melibatkan beragam bangsa ini menjadi pusat pergerakan reformasi Islam di daerah tersebut pada abad ke-19, dan presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mengungsi ke masjid ini pada masa perjuangan kemerdekaan. Masjid ini termasuk bangunan yang tetap utuh setelah gelombang tsunami menerjang kota Padang dan sekitarnya akibat gempa bumi tahun 1833, walaupun mengalami kerusakan cukup berarti akibat gempa tahun 2005 dan 2009.
Saat ini, selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama dan pesantren kilat bagi pelajar serta menjadi salah satu daya tarik wisata di kota Padang.
Pembangunan
Tidak diketahui pasti tahun berapa masjid ini mulai berdiri. Menurut Abdul Baqir Zein dalam bukunya yang berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, masjid ini telah berdiri sejak tahun 1700 dan pada mulanya terletak di kaki Gunung Padang, kemudian dipindahkan ke tepi Batang Arau karena Belanda hendak membuat jalan ke pelabuhan Teluk Bayur, hingga terakhir dipindahkan ke lokasi sekarang. Namun demikian, dalam dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Agama, disebutkan masjid ini dibangun pada tahun 1790 dari bahan kayu dengan atap berbahan rumbia dan masjid yang lebih baik lagi dibangun pada tahun 1805 Lain lagi menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang, yang menyebut masjid ini mulai dibangun pada tahun 1805 dan awalnya dikenal sebagai "Masjid Kampung Gantiang" dengan bangunan berupa surau berlantaikan batu dengan dinding berplester tanah dan atap berundak-undak.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan mengenai tahun mulai berdirinya masjid ini, dari sejumlah catatan diketahui bahwa pembangunan masjid di pusat Minangkabau di Padang abad ke-18 dan ke-19 ini diprakarsai oleh tiga tokoh masyarakat setempat, yaitu Angku Gapuak (saudagar), Angku Syekh Haji Uma (kepala kampung Ganting), dan Angku Syekh Kapalo Koto (ulama), sementara biayanya banyak diperoleh dari para saudagar dan ulama Minangkabau di sejumlah tempat di Sumatera. Masjid ini juga tercatat sebagai salah satu bangunan yang tetap utuh dari terjangan gelombang tsunami yang merambah sebagian besar Padang akibat gempa bumi Sumatera pada tahun 1833, hanya saja lantai batunya kemudian diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung.
Pada tahun 1910, Belanda mendirikan pabrik semen di Indarung, Padang. Untuk mentranspor semen ke Pelabuhan Teluk Bayur, Belanda membuka jalan batu melewati tanah Masjid Raya Ganting. Hampir sepertiga dari luas tanah wakaf untuk masjid ini digunakan untuk jalan.Sebagai kompensasi atas tanah tersebut, Belanda membantu mengembangkan masjid ini melalui Komandan Korps Genie wilayah Pesisir Barat Sumatera (wilayah yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang). Pengembangan yang dilakukan termasuk perpanjangan bilik muka sepanjang 20 meter dan pembuatan bagian depan (fasad) masjid bergaya Portugis. Selain itu, lantai masjid diganti dengan semen yang didatangkan dari Jerman. Pada tahun 1900, dimulailah pemasangan tegel dari Belanda yang dipesan melalui NV Jacobson van den Berg. Pemasangan tegel tersebut ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai pada tahun 1910.
Sementara itu, etnis Cina di bawah komando Kapten Lo Chian Ko ikut mengerahkan tukang-tukang Cina untuk mengerjakan kubah yang dibuat persegi delapan mirip atap vihara. Begitu juga, pada mihrab tempat imam memimpin salat dan menyampaikan khotbah dibuat ukiran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah muzawir berukuran 4 × 4 m² berbentuk panggung dari kayu dan diberi ukiran Cina. Muzawir berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan dan penyambung suara imam sehingga makmum dapat mengikuti gerakan imam. Setelah ada pengeras suara, muzawir tidak digunakan lagi sehingga pengurus masjid membongkar bangunan tersebut pada tahun 1974(atau 1978).
Setelah itu, pembangunan masjid dilanjutkan pada tahun 1960 dengan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya terbuat dari batu bata. Kemudian, menara pada bagian kiri dan kanan masjid selesai dibangun pada tahun 1967.Pada tahun 1995, dilakukan pemasangan keramik pada dinding ruang utama.
Garis waktu
Masjid Raya Ganting turut berperan dalam perjalanan sejarah Kota Padang. Selain sebagai lokasi pengembangan Islam di pulau Sumatera, masjid ini juga berperan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan di Padang.
Sejak awal berdirinya, masjid ini dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan manasik calon haji. Masjid ini juga menjadi tempat embarkasi haji pertama di Sumatera Tengah melalui Pelabuhan Teluk Bayur yang dibuka pada tahun 1895.Sebelum berakhirnya perang Padri, pada tahun 1918, para ulama di Minangkabau mengadakan pertemuan di Masjid Raya Ganting untuk membahas langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan pemurnian ajaran agama Islam dari pemahaman mistik dan khufarat.
Pada tahun 1921, Abdul Karim Amrullah mendirikan sekolah Thawalib di dalam pekarangan masjid sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat kota Padang saat itu, yang alumninya kemudian mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang merupakan cikal bakal Partai Masyumi. Masjid ini juga dijadikan lokasi jambore nasional pertama gerakan kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan pada tahun 1932.
Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan ke Kutacane. Namun, sesampainya di Painan, tentara Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi sehingga Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Soekarno di Painan. Selanjutnya, Hizbul Wathan, yang saat itu bermarkas di Masjid Raya Ganting, menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan pedati. Beberapa hari kemudian, Soekarno yang telah tiba di Padang menginap sementara waktu di salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting dan sempat memberikan pidato di masjid ini.
Selama pendudukan tentara Jepang di Indonesia, masjid ini dijadikan sebagai markas besar wilayah Sumatera Barat dan Tengah sekaligus tempat pembinaan prajurit Gyugun dan Heiho, yang merupakan kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang. Anggota perwira militer Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit Heiho diambil dari para santri.
Setelah tentara Sekutu mendarat di Sumatera, banyak tentara Inggris dari kesatuan tentara Muslim India membelot dan bergabung dengan tentara rakyat setempat. Mereka mengatur strategi penyerangan dari masjid ini, termasuk penyerangan ke salah satu tangsi militer Inggris dari kesatuan Gurkha. Ketika seorang prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di Masjid Ganting.
Sejak tahun 1950, Masjid Raya Ganting mulai banyak dikunjungi oleh pejabat negara baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah pejabat negara yang pernah berkunjung ke masjid ini, antara lain, adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu, dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Sementara itu, tokoh luar negeri yang pernah mengunjungi masjid ini, antara lain, adalah Sekretaris Negara Malaysia serta pejabat dari Arab Saudi dan Mesir.
Pada 10 April 2005, terjadi gempa bumi di pantai barat Sumatera dengan kekuatan 6,7 skala Richter setelah terjadinya gempa bumi lebih besar di sekitar Pulau Nias dua minggu sebelumnya. Sejumlah tiang penyangga utama kuda-kuda atap Masjid Raya Ganting retak dan patah akibat gempa ini.
Selanjutnya, masjid ini merupakan salah satu dari 608 unit tempat ibadah di Sumatera Barat yang rusak berat akibat gempa bumi 30 September 2009. Selain meruntuhkan sebagian fasad masjid, gempa tersebut juga meretakkan tiang-tiang ruang utama sehingga bangunan ini dikhawatirkan roboh. Sebelum dilakukan renovasi pada tahun 2010, kerusakan yang dialami masjid ini menyebabkan aktivitas ibadah terganggu sehingga, selama sementara waktu, aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman masjid.
Pada tahun 2011, masjid ini dimasukkan dalam daftar masjid terindah di Indonesia yang diterbitkan dalam buku 100 Masjid Terindah Indonesia oleh PT Andalan Media. Selain Masjid Raya Ganting, masjid lain dari Sumatera Barat yang dimuat dalam buku tersebut ialah Masjid Raya Bayur.
Arsitektur
Masjid ini berdiri di atas tanah seluas 102 × 95,6 meter persegi dengan bangunan berbentuk persegi panjang berukuran 42 × 39 meter persegi. Bangunan terdiri dari serambi muka, serambi samping (kiri dan kanan), mihrab, dan ruang utama. Luas bangunan yang kurang dari seperlima luas lahan menyisakan halaman yang luas yang dapat menampung banyaknya jamaah pada saat pelaksanaan salat Ied pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Halaman tersebut dipagari besi dan berbatasan langsung dengan jalan raya di sebelah timur dan utara. Di sebelah selatan dan belakang masjid terdapat beberapa makam, salah satunya adalah makam Angku Syekh Haji Uma, satu dari tiga orang pemrakarsa pembangunan masjid ini.
Perpaduan arsitektur dari berbagai corak terlihat jelas pada bangunan masjid ini karena pengerjaannya melibatkan beragam bangsa seperti Eropa, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau. Masjid ini memiliki tatanan atap berupa atap susun berundak-undak sebanyak lima tingkat dengan puncak berkubah berhiaskan mustaka. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Tingkat pertama berbentuk persegi, sedangkan tingkat dua sampai empat berbentuk segidelapan.
Serambi atau bilik
Bangunan masjid ini memiliki dua serambi utama, yaitu serambi samping dan serambi muka. Kedua serambi samping masing-masing berukuran 30 × 4,5 meter persegi dan memiliki dua pintu masuk, yang salah satu pintunya menuju ke tempat wudu yang terdapat di sisi utara dan selatan. Pada bagian barat terdapat sekatan yang membentuk kamar atau ribath (tempat tinggal pengurus masjid) berukuran 4,5 × 3 m². Ribath tersebut memiliki pintu dari arah timur berukuran 225 cm × 90 cm dan jendela berukuran 90 cm × 90 cm. Serambi muka berbentuk persegi panjang berukuran 12 × 39 m² serta memiliki enam pintu dari arah timur dan dua pintu dari arah utara dan selatan, yang masing-masing berdaun pintu dari jeruji besi. Terdapat hiasan tiang ganda semu pada enam pintu dari arah timur, kecuali pada bagian tengah yang merupakan bangunan mimbar yang menjorok ke depan dengan daun pintu dari jeruji pula. Mimbar berukuran 220 cm × 120 cm × 275 cm tersebut hanya digunakan pada pelaksanaan salat Ied. Selain pintu, juga terdapat masing-masing satu jendela dengan terali besi di sisi utara dan selatan.
Di dinding timur serambi muka, terdapat hiasan ukiran geometri berupa panil-panil yang berbentuk persegi panjang dan bujur sangkar. Terdapat pula hiasan lengkung yang ditutupi tembok dengan motif cincin dan mata kapak. Tebal dinding sekitar 34 cm dengan tinggi 320 cm. Di dalam ruangan terdapat tujuh tiang ganda berbentuk silinder dari beton dengan garis tengah 45 cm. Tiang-tiang tersebut berdiri di atas umpak beton dengan lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm. Selain itu, terdapat pula dua tiang berbentuk segi empat yang terletak di sisi utara dan selatan, dekat dengan ruangan berbentuk segi delapan yang memiliki satu pintu dari arah timur dan satu jendela.
Ruang utama
Ruang utama masjid berbentuk persegi berukuran 30 × 30 meter persegi dengan empat pintu masuk di sisi timur dan masing-masing dua pintu di sisi utara dan selatan. Pintu berukuran 160 cm × 264 cm tersebut memiliki dua daun pintu dari kayu dengan hiasan lengkung kipas pada ambang atas. Terdapat pula dua jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan, serta enam jendela di sisi barat. Jendela-jendela tersebut memiliki panjang 160 cm dan tinggi 2 m. Seperti pada pintu, bagian ambang atas jendela juga berbentuk lengkung kipas. Dinding pada ruang utama terbuat dari beton berlapis keramik, sedangkan lantainya dari tegel putih berhiaskan bunga.
Di ruang utama juga, terdapat soko guru atau tiang utama berjumlah 25 yang berbentuk segi enam dengan diameter 40 sampai 50 cm dan tinggi mencapai 420 cm. Tiang-tiang yang terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Jumlah 25 tiang berjajar 5 melambangkan 25 nabi, dan masing-masing tiang dilapisi marmer putih berhiaskan kaligrafi yang memuat nama 25 nabi mulai dari Adam sampai Muhammad. Tiang-tiang tersebut berfungsi sebagai penopang utama konstruksi atap masjid yang berbentuk segi delapan.
Pada sisi barat ruang utama terdapat mihrab yang diapit oleh dua kamar di sisi utara dan selatan. Mihrab tersebut berukuran 2 m × 1,5 m dengan tinggi pada sisi timur 320 cm dan sisi barat 210 cm.
Bangunan lain
Masjid ini memiliki tempat wudu berukuran 10 m × 3 m yang terletak di sebelah utara dan selatan serambi samping. Tempat wudu ini dibangun pada tahun 1967 serta dibuat permanen dan tertutup. Selain itu, perpustakaan masjid menempati sebuah ruangan di sisi utara masjid dan masih menyatu dengan bangunan masjid. Di sekitar masjid juga terdapat tiga gedung tempat bimbingan teori manasik calon haji. Salah satu dari tiga gedung tersebut dulunya ditempati sekolah Thawalib.