Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Mobil Ambulance
Perlengkapan Pengurusan Jenazah
Ruang Belajar (TPA/Madrasah)
Tempat Penitipan Sepatu/Sandal
Gudang
Taman
Parkir
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Fasilitas Perpustakaan
Dokumen
Dokumen tidak ditemukan atau belum diunggah
Sejarah Masjid
Masjid yang berada di bantaran Sungai Jelai ini dibangun sekitar tahun 1928. Saat itu Kota Sukamara masih berupa bagan (kelompok pondok kecil). Setelah penduduknya bertambah banyak dan bagan terbagi menjadi beberapa bagian, yakni mendawai, tengah, dan padang, masyarakat sepakat membangun masjid berukuran sekitar 6×6 meter dengan dinding dan atap daun nipah di atas tanah wakaf Kai Ahmadal. ”Pertama kali dibangun hanya berdinding dan beratap daun. Masjid kecil itu menjadi tempat berkumpulnya warga dari semua bagan,” tutur Ardiansyah, salah seorang pengurus masjid.
Ketika bagan-bagan semakin berkembang hingga menjadi perkampungan, para pendatang terus bermunculan, termasuk para pedagang. Salah satunya pedagang dari Turki bernama Habib Eben yang menjual minyak wangi.
Melihat kondisi masjid berdinding dan beratap daun, dia pun prihatin. Habib berinisiatif mengumpulkan warga yang tergolong mampu. Setelah berkumpul, Habib Eben sengaja merobek dinding masjid yang terbuat dari daun kajang dan menusuk-nusuk atap masjid hingga berlubang. Dia pun mempertanyakan, di mana saja orang kaya sehingga kondisi masjid seperti itu.
Mendengar perkataan Habib Eben, para pedagang dan orang kaya saat itu sadar dan tergerak memperbaiki masjid. Mereka sepakat membongkar dan mengganti dengan bangunan baru berdinding papan kayu dan beratap sirap kayu ulin.
Setelah itu terbangunlah masjid baru berukuran 10×10 meter, beratap sirap, dan bagian atas berbentuk limas persegi lima. Warga sepakat memberi nama masjid itu Al-Aqsha.
Setelah bagan berkembang menjadi perkampungan, jumlah penduduk juga semakin bertambah, sehingga kondisi masjid perlu diperluas lagi.
Dari riwayat yang diingat Ardiansyah, pemugaran masjid pernah dilakukan pada era tahun 70-an, di mana bentuk atap limas diubah menggunakan kubah. Kemudian masuk tahun 80-an, bentuk bangunan mulai diubah total dan diperluas hingga masuk tahun 90-an. Pembangunan masjid itu pun terus berlanjut hingga sekarang dengan desain lebih modern.