Profil Masjid
Fasilitas Umum
Sarana Ibadah
Tempat Wudhu
Kamar Mandi/WC
Pembangkit Listrik/Genset
Sound System dan Multimedia
Penyejuk Udara/AC
Kantor Sekretariat
Perpustakaan
Taman
Parkir
Kegiatan
Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Menyelenggarakan Sholat Jumat
Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam
Menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar
Fasilitas Ramah Anak
Fasilitas Disabilitas
Fasilitas Perpustakaan
Sejarah Masjid
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Pembangunan masjid di tanah seluas sekitar
4 hektare ini sempat terhenti karena krisis moneter 1997, tetapi akhirnya
berhasil diselesaikan dengan menelan biaya sekitar Rp 200 miliar. Biaya pembangunan itu sungguh besar
untuk ukuran sebuah masjid, tetapi menjadi
wajar bila ditengok dari bangunan masjid yang namanya diambil dari Kyai
Nurwahid, pejuang Islam yang terkenal di Kota Pare yang dimakamkan di Desa Tulung
Rejo, Pare, Kediri.
Seperti kebanyakan masjid di Indonesia, arsitektur khas Jawa bisa
dilihat pada bentuk atap masjid, yaitu atap tajug
untuk bangunan induknya dan atap joglo untuk
bangunan tempat masuk. Agar terkesan ekspresif, atap tajug dirancang berebentuk
piramid di bagian atasnya, dengan kemiringan sudut yang dipertajam sedemikian
rupa, sehingga diperoleh kesan atap yang menjulang ke langit. Bangunan beratap
tajug dan joglo itu, konon, telah dikenal sejak masa Kerajaan Kahuripan dan Doho.
Dalam arsitektur tradisional Jawa,
biasanya atap tajug atau joglo ditunjang 4 soko guru. Pada Masjid Agung An-Nur Pare,
setiap soko guru itu digandakan menjadi empat soko guru. Keempat soko guru ini
disatukan oleh balok pengikat yang saling bersilangan di tengah dengan arah
miring ke atas dan bersatu di titik puncak persilangan. Pada titik inilah balok
pendukung space frame yang digunakan untuk konstruksi atap itu bertumpu.
Struktur space frame dipilih untuk kerangka atap bertujuan untuk memberi kesan
ringan yang diekspresikan oleh rerangka space frame tersebut,
yang sengaja tidak ditutup dengan plafond, sehingga kontras dengan kesan
kokohnya susunan balok dan soko-soko guru pendukungnya.
Rancangan Masjid Agung An-Nur Pare ini
diilhami oleh John Portman,
arsitek asal Amerika Serikat.
Salah satu elemen rumah yang paling menonjol adalah kolom-kolomnya. Kolom yang
'dibengkokkan' (exploded column), yang didalamnya dikosongkan dan
difungsikan khususnya untuk sirkulasi antar ruang dan tangga yang menghubungkan
lantai bawah dan lantai atas. Kolom yang 'dibengkokkan' inilah yang digunakan
perancang untuk kolom-kolom masjid bagian luar, dengan tujuan untuk memberi
proporsi yang sesuai dengan jarak kolom yang membentengi tiga traffee bagian
luar. Selain itu juga memberikan tampilan yang kontras antara kolom lingkar
yang kokoh dengan bidang dinding kaca lebar yang transparan di lantai satu.
Bidang dinding kaca ini diperlukan untuk memberi kesan bebas pada para jamaah
dari dalam masjid yang ingin melihat ke taman di luarnya.
Konsep arsitektur inilah yang mengantar
Masjid Agung An-Nur Pare mendapat penghargaan Juara Pertama Sayembara
Internasional untuk kategori Perancangan Arsitektural Masjid, termasuk
pemanfaatan teknologi modern dalam arsitektur masjid. Penghargaan ini diberikan
oleh Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dalam
rangka memperingati 100 tahun berdirinya Kerajaan Saudi Arabia,
akhir Januari 1999 lalu.